Bagaikan Debu Yang Beterbangan
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.� (QS. Al-Furqan: 23)
Tentang maksud �bagaikan debu yang beterbangan� Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan, �Artinya sia-sia, tidak mendapat pahala. Karena mereka tidak melakukannya [ikhlas] karena Allah 'azza wa jalla.� (lihat Ma'alim at-Tanzil, hal. 924)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, �Apa yang dahulu telah mereka amalkan� yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna �Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan� maka beliau menjelaskan, �Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.� (lihat Zaa'dul Masir, hal. 1014)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, �Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari'at yang diridhai [Allah] maka itu adalah batil/sia-sia.� (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [6/103])
Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan, �Sebab amalan yang diterima adalah amalan yang dilakukan oleh orang yang beriman lagi ikhlas, yang membenarkan para rasul dan mengikuti tuntunan mereka di dalam hal itu.� (lihat al-Majmu'ah al-Kamilah [5/472])
Di dalam ayat lain, Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Sungguh telah diwahyukan kepadamu -Muhammad- dan juga kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan pastilah kamu termasuk golongan orang-orang yang merugi.� (QS. Az-Zumar: 65)
Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, �Ini adalah pendidikan dari Allah ta'alakepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dan ancaman bagi selainnya, karena Allah 'azza wa jallah telah menjaga beliau dari perbuatan syirik.� (lihat Zaadul Masir, hal. 1235)
ar-Rabi' bin Anas rahimahullah berkata, �Tanda agama [amalan yang benar] adalah ikhlas karena Allah, sedangkan tanda ilmu [yang sejati] adalah perasaan takut kepada Allah.� (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah karya Ibnu Abi Dun-ya, hal. 33)
Diriwayatkan bahwa 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu berkata, �Amal yang salih adalah amalan yang kamu tidak menginginkan pujian dari siapapun atasnya kecuali dari Allah.� (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 35)
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, �Malaikat membawa naik amalan seorang hamba dengan penuh gembira. Tatkala dia telah bertemu dengan Rabbnya, maka Allah pun berkata: Masukkanlah amalan itu ke dalam Sijjin [catatan keburukan], karena amalan tu tidak dipersembahkan untuk-Ku.� (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 45)
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, �Ada seseorang yang menceritakan kepadaku mengenai Abus Salil. Bahwasanya suatu saat dia menyampaikan hadits atau sedang membacakannya kemudian dia menangis, tiba-tiba dia pun mengubah dirinya menjadi tertawa.� (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 64)
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, �Benar-benar ada dahulu seorang lelaki yang memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan sholat dan menasehati keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: Jika ada orang yang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa 'dia sedang ada keperluan'.� (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal.65)
Mutharrif rahimahullah berkata, �Sesungguhnya sejelek-jelek alat untuk mencari kesenangan dunia adalah amal akhirat.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 572)
Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, �Allah tidak menerima amalan yang di dalamnya tercampuri riya' walaupun hanya sekecil biji tanaman.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 572)
Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, �Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang sangat menggandrungi pujian kepada dirinya, padahal di sisi Allah dia tidak lebih berharga daripada sayap seekor nyamuk.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 573)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, �Barangsiapa yang mencintai orang lain bukan karena Allah niscaya bahaya yang muncul dari teman-temannya jauh lebih besar daripada bahaya yang timbul dari musuh-musuhnya.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 575)
al-Harits bin Qais an-Nakha'i rahimahullah berkata, �Jika kamu berniat untuk melakukan suatu amal kebaikan janganlah ditunda-tunda. Apabila setan datang ketika kamu sedang mengerjakan sholat lalu dia membisikkan, �Kamu sedang riya'.� maka buatlah sholat itu semakin bertambah lama.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 576)
Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata, �Bukanlah tangisan hakiki tangisan dengan mata. Akan tetapi tangisan yang hakiki adalah tangisan hati.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 579)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata: Dahulu ibuku berpesan kepadaku, �Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 579)
Ibnus Samak rahimahullah berkata, �Seandainya seorang yang riya' dengan ilmu dan amalnya mengutarakan isi hatinya kepada manusia niscaya mereka akan marah kepadanya dan mengatakan bahwa akalnya benar-benar dungu.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 580)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, �Riya' adalah mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun 'ujub adalah mempersekutukan Allah dengan diri sendiri.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 583)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, �Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya pun menjadi terhapus.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 584)
Setelah membaca ini semuanya, sudah selayaknya kita berdoa kepada Allah sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh salah seorang ulama salaf, �Ya Allah, ampunilah riya' dan sum'ahku.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 577)
Posting Komentar